Saya dibesarkan dari 11 orang bersaudara dari pasangan Keluarga Bapak
Soenarko Moch. Sjaichan dan Ibu Rukiyah, lahir pada hari Selasa Wage, pukul
09.30 pagi ; 28 Nopember 1967 M atau bertepatan dengan Tahun Hijriyah; 25
Sya’ban 1367 H.
Sebenarnya saya lahir dan dibesarkan dari keluarga yang cukup beruntung, pada
masanya, sebab orang tua saya tergolong dari kalangan Piyayi dan sangat
terpandang di Kecamatan Purojati saat itu. Adapun jabatan terahir ketika saya
kecil hingga remaja Bapak saya sebagai Kepala Kantor Kecamatan Purwojati
Purwokerto Kabupaten Banyumas, beliau termasuk tokoh yang diperhitungkan di
Kecamtan Purwojati. Beliau seorang Guru (Mursyid) Tariqoh Naqshobandi
Qodariyah, muridnya meliputi beberapa Kecamatan ( Purwojati, Jatilawang,
Rawalo ).
Silsilah S.Moch.Sjaichan juga sangat jelas hingga tercatat 6 (Enam) keturunan
yaitu Soenarko Mochammad Sjaichan bin Muhammad ‘Aly bin Bangsa Dikara bin
Citra Dirana bin Setra Wijaya bin Merta Wijaya alias Yudanegara (Bupati
Banyumas). Nama Merta Wijaya/Yudanegara, dapat di temukan di Sejarah
Kabupaten Banyumas.
Walaupun saya anak dari Piyayi, tapi sejak kecil sudah terbiasa hidup
teratur, berbakti kepada orang tua, prihatin, kerja keras dan mandiri.
Kebiasaan hidup teratur dapat dilihat dari kebiasaan aktifitas harian, pagi
bangun pagi-pagi, berangkat sekolah, pulang sekolah sekitar pukul 12.00.
Makan siang, shalat Dzuhur, ganti baju mengenakan pakaian khusus bertudung
(topi bambo), langsung menuju Kandang Kambing, membuka pintu kandang dan
menuntun/membawa kambing Gembel yang berjumlah antara 7-10 ekor.
Selama menggembala kambing di pinggir jalan, kadang disawah, kadang di
hutan/lereng gunung, sambil membawa sebilah Sabit dan Karung Goni. Sambil
mengawasi gembalaan kambing gembel, saya dengan sibuk merumput (ngarit) tuk
di bawa pulang.
Ketika bedug adzan asar berbunyi, siap-siap menggiring kambing Gembel tuk
pulang kandang. Sesampai di rumah mandi, tidak lupa melaksanakan shalat Asar.
Kegiatan itu dilakukan rutin setiap hari. Keadaan menjadi sedih ketika hujan
tiba. Disamping kambing Gembel saya kehujanan, saya juga basah kuyup. Maka
tidak heran bila sampai rumah sering nangis sebab rasa pusing masuk angin
kehujanan.
Pengalaman ini dalam 1 grumbul/kampung, hanya berdua saja bersama teman
sekaligus kerabat semasa kecil yang bernama Amin Supangat.
Tidak cukup disitu,………. sepulang menggembala, untuk mandi membersihkan badan,
harus pergi ke Sungai, yaitu mandi di Belik atau pinggir-pinggir sungai,
sambil membawa omplong atau ember, tentunya ember itu diisi air untuk mengisi
berbagai keperluan rumah seperti padasan (tempat wudhu), gentong air untuk
masak, kulah (mengisi bak mandi).
Shalat Mghrib berjamaah di Mushalla (Langgar), terus belajar mengaji hingga
waktu Isya berjamaah. Pulang dari Mushalla, makan malam, terus belajar malam.
Setiap hari Sabtu atau Ahad, ramai-ramai bersama teman-teman untuk
bersiap-siap mencari kayu bakar di hutan yang berjarak tempuh relative jauh
antara 1 s.d. 6 Km, dengan kondisi medan naik turun gunung. Ada pengalaman
selama berada di hutan saat mncari kayu bakar maupun mencari rumput di hutan.
Ketika lapar, apa yang ditemukan dimakannya contoh makan daden (boled/ubi yg
tertinggal), singkong yang tertinggal, pisang mentah, mangga mentah, jambu
monyet, menthol, batang daun kedondong, batang daun Mangga semua bias dimakan
sekedar menahan lapar.
Ketika haus dirasakan,.. yang bias cepat dilakukan adalah mencari mata air,
bila tidak menemukan, maka membuat galian spontan dengan gobed/bendo yang
dipegangnnya, di atas tanah hutan disembarang tempat yang diperkirakan banyak
air. Karuan saja habis galian spontan yang lebar dan kedalamannya kurang
lebih hanya 30 cm, sudah pasti airnya keruh putih kecoklatan. Hingga beberapa
kali di tawu (dijernihkan) dengan menggunakan daun pisang atau dedaunan yang
ada disekitarnya. Ketikak dirasa cukup bening air mentah dari tanah tersebut
langsung diminum.
Saya ingat teman-teman sebaya semasa kecil yang ramai-ramai mencari kayu
bakar (met suluh) bersama ; merka adalah : Alip, Sarwono, Seto, Tohid, Amin
Supangat, Darno, Bagol, Darsono, masih banyak lagi temen yang tidak bias saya
sebut. Kadang juga berangkat bersama dengan generasi yang lebih tuaan atau
bujangan mereka adalah Juri, Ayat, Warkim, Seno dll. Sesampainya dihutan
sering bertemu rombongan temen yang berasal dari tetagga kampung sebelah,
biasanya masing-masing kita dan rombongan mereka memiliki area atau lokasi
hutan tersendiri untuk mencari kayu bakar (suluh) atau ngarit.
Ketika musim menam mapun msim Panen Palawija tiba, seperti : singkong,
kedelai, ubi dan lainya tiba, itu ada kisah tersendiri yang lebih dahsyat
hingga larut malam kerja membantu orang tua. Bisa dibanyangkan dari persiapan
menaam, membawa bibit, membawa rabuk (pupuk), memelihara dari hama, hingga
memanen salah satu contoh panen Singkon. Nyabut singkong, motongin dari
batang, kadang langsung dibuat gaplek tidak di bawa pulang ke rumah, ditaruh
dibiarkan di atras tanah kepanasan dan kehujanan jadi gatot.
Mengangkut budin (dingkong) dari gunung menuju rumah dengan jarak kurang
lebih 6 Km. Setelah terkumpul dirumah dibalai bagian depan rumah hingga
menggunung penuh, pekerjaan yang sangat membosankan yaitu ngoceti
(membersihkan) singkong dri kulitnya, untuk menuju proses pembuatan makanan
untuk persiapan disimpan untuk beberpa tahun ke depan (proses panjang dan
melelahkan) masing-masing jenis olahan memiliki uraian pekerjaan tersendiri,
mantap benar,………!!???
Ketika Hari Ahad (minggu) tiba, sejak usia Kelas 4 (empat) SD, saya sudah
terbiasa mencuci baju sendiri, termasuk sepatu dan pakaian harian. Dari Kelas
5 (Lima) SD sudah mulai membantu mencucikan baju Bapak beberpa potong dan
menyetrikanya.
Ibu saya semenjak saya inget uekitar usia kelas 4 (empat) Sekolah Dasar (SD),
ibu sudah sering sakit-sakitan, dengan keluhan sering pusing. Saat Ibu sedang
memasak di dapur kemudian beliau sakit kepala, Ibu langsung merebahkan
badannya dikamar, tidak bias melanjutkan masak di dapur. Saat itulah saya
secara tidak sengaja dididik dan terbiasa membantu ibu masak. Berangkat dari
hal-hal yang ringan dan kecil-kecil. Ketika ibu sedang sakit kepala padahal
sedang nggoreng sesuatu,…. Ibu dari tempat tidur menyuruh saya,.. Siin,..
tempenya dibalikin,.. takut gosong,.. klo dah agak kemerahan diangkat. Yang
belum digoreng dimasukin ke bumbu, begitu seringnya hingga masakan-masakan
lainya, seperti tumisan, nyayur bening, lodeh, goring ikan, ayam, semur
daging, buat pecel, ( gado-gado), kerupuk, bikin keripik singkong, sriping
gedang, goring kacang, buat legendary dan sebagainuya, menanak nasi, liwet
maupun didang, diatas tungku (pawon) kayu bakar.
Kejadian itu berlangsung hingga beberapa tahun sampai usia SMA. Saya sudah
lihai dan piawai masak untuk mempersiapkan makan sekeluarga.
Pengalaman-pengalaman seperti inilah sudah terbiasa menjadi kebiasaan anak
kampung, palagi anak seorang petani atau buruh. Akan tetapi saat itu satu,
dua, tiga generasi, atau bahkan generasi sebelum angkatan saya,…. Saya kira
pengalaman saya merupakan yang terdahsyat, yang tidak mungkin atau tidak
bakalan generasi jaman saya atau sesudahnya njamanin.
Dengan keluarga besar dan musibah, cobaan yang beruntun tidak putus-putusnya,
akhirnya keadaan orang tua menjadi hidup pas-pasan. Anak-anaknya termasuk
saya hanya bias sekolah Tamat sampai SMA saja. Harapan dan impian setinggi
langit ingin kuliah ingin mesantren putus ditengah jalan sebab kondisi
kemampuan ekonomi orang tua cukup memprihatinkan.
Kiranya kisah ini bisa menjadi ibrah (pelajaran) hususnya bagi anak-anak dan
cucu-cucu saya kemudian, agar mereka termotivasi untuk senantiasa hidup
prihatin, mandiri, dan teratur dan berakhlaq, dan umumnya kepada siapa saja
yang dapat membaca tulisan ini.
Ternyata orang-orang yang sukses dikemudian hari, kalau melihat ke belakang
mereka rata-rata hidup prihatin, mandiri dan teratur.
|